Psikologi Agama
“AGAMA SEBAGAI OBJEK ILU JIWA”
Dosen : Drs. Nasichah
DISUSUN OLEH :
NOFIA NATASARI
RADINAL FATA
UMI ARIFIANI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Fakultas Ilmu Dakwah & Ilmu Komunikasi
Program Study Komunilasi & Penyiaran
Islam II B
April 2012
I.
PENDAHULUAN
Betapa
banyak tanda – tanda kekuasaan Allah yang tersembunyi dalam diri manusia. Semua
itu seolah memberikan kesempatan bagi manusia untuk bisa mematuhi segala
perintah Ilahi dalam menggalih lebih banyak ilmu pengetahuan yang belum terkuat
oleh generasi sebelumnya. Penemuan baru seolah menjadi wahyu dan inspirasi bagi
setiap generasi manusia.
Perintah
untuk menjaga diri berimplikasi sangat luas, diantaranya perintah untuk
mematuhi semua peraturan yang telah ditetapkan dalam Islam, yang bertujuan
untuk menjaga eksistensi manusia dan mencegah pertumpahan darah, juga perintah
untuk selalu menjaga diri dalam keadaan sehat wal afiat.
II.
MAKNA KATA NAFS ( JIWA ) DALAM
AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Kata Nafs’ merupakan satu kata yang memiliki banyak makna ( Lafazh
Musytarak ) dan harus dipahami sesuai penggunaannya. Kata Nafs’ dalam al-qur’an
memiliki makna sebagai berikut, yaitu :
1.
Jiwa atau
sesuatu yang memiliki eksistensi dan hakikat. Nafs dalam artian ini terdiri
atas tubuh dan ruh, sebagaimana tampak dalam ayat al-qur’an.
“Allah
tidak membebani (jiwa) seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.”(al-Baqarah: 286)
“Barangsiapa
yang berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap (jiwa)
dirinya sendiri.”(al-Baqarah: 231)
2.
Nyawa yang
memicu adanya kehidupan. Apabila nyawa bilang hilang, maka kematian pun
menghampiri. Nafs dalam artian ini tampak dalam ayat Al-Qur’an ;
“Sesungguhnya
Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak – anak itu untuk
menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang (nyawa)
mereka”(at-Taubah: 55)
3.
Diri atau
tempat dimana hati nurani bersemayam. Nafs dalam artian ini selalu dinisbatkan
kepada Allah dan juga kepada manusia, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an,
“Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya.”(Ali Imran: 28)
4.
Suatu sifat
pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga
kejahatan, sebagaimana tampak dalam ayat Al-Qur’an,
“Maka hawa
nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaanya, sebab itu
dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang – orang yang merugi.”(al-Maa’idah: 30)
5.
Sifat pada
diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang ditinggalkannya ketika ia
tidur, sebagaimana tampak dalam Al-Qur’an,
“Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan………”
(az-Zumar: 42)
6.
Satu gaya
bahasa yang majemuk yang berarti ‘saling.’ Bila dikatakan, “Hormatilah dirimu”,
maka yang dimaksud adalah satu anjuran agar satu dengan yang lainnya saling
menghormati. Nafs dalam bentuk seperti ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an, yakni
:
“Maka
bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.”
(al-Baqarah: 54)
Semua makna inilah yang tersirat
di dalam Al – Qur’an. Namun, jika kita mengamati, maka sesungguhnya maka dapat
disimpulkan menjadi dua makna utama, yaitu :
1.
Satu kata
umum mencangkup semua yang ada dalam diri manusia. Kebalikan kata ini dalam
Al-Qur’an adalah semerta.
2.
Satu kata
khusus yang berarti jiwa dan ruh, kebalikannya adalah tanah atau fisik.
Demikian pula kata Nasf yang ada
dalam hadits Rasulullah, yakni diwakili oleh dua makna diatas. Makna umumnya
tampak pada Hadits Rasulullah,
“Tidak Halal
darah seorang muslim yang bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
(Muhammad) utusan Allah, kecuali atas tiga hal: orang yang telah menikah namun
ia berzinah, orang yang membunuh jiwa orang lain serta orang yang meninggalkan
agama dan kelompoknya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan
makna khususnya tampak dalam hadits Rasulullah,
“Apakah
manusia tidak memperhatikan mata orang yang meninggal?” Para sahabat lalu
berkata,”Iya.” Rasulullah lalu bersabda,” (ketika seseorang meninggal) maka
pada saat itu matanya mengikuti ruhnya (yang pergi meninggalkan jasad).” (HR Muslim)
III.
Sumber Jiwa Agama Menurut Islam
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama
dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah
yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah,
manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa
golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan
lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang
tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha.
Menurut Nurcholis
Majid, agama merupakan fitrah munazal yang diturunkan Allah untuk
menguatkan fitrah yang telah ada secara alami. Dengan fitrah ini manusia
tergerak untuk melakukan kegiatan atau ritual yang diperintahkan oleh Yang Maha
Kuasa, yang berbentuk upacara ritual, kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir
dll.
Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
Menurut Quraish
Shihab, sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa kebenaran,
keindahan dan kebaikan, hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Ketika
manusia memperhatikan keindahan alam, maka akan timbul kekaguman, kemudian
menemukan kebaikan pada alam semesta yang diciptakan untuk manusia, kemudian
manusia mencari apa yang paling indah, paling benar dan paling baik yang pada
akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Tuhan.
IV.
PEMBAGIAN NAFS
a.
Nafs saat
menjadi sawiyyah mulahhamah.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya),” “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaan.” (asy-Syams:
7-8)
Dalam ayat di atas, tampak dua
sifat dan kondisi nafs sawiyyah (sempurna) dan mulahhamah (mendapat Ilahi).
Berkaitan dengan sifat pertamanya, Fakhrurozy mengungkapkan,
“Bila kita mengartikan nafs pada
ayat diatas adalah fisik, maka kesempurnaannya tampak pada fungsi semua anggota
tubuh sebagaimana yang diungkapkan oleh ilmu fisiologi. Apabila kita
mengartikannya suatu kekuatan dalam jiwa, maka kesempurnaannya tampak pada
kekuatan dalam diri yang tampak pada pendayagunaan yang optimal pada
pendengaran, penglihtan, imajinasi, pola pikir, dan daya ingat sebagaimana yang
diarahkan dalam dunia psikologi.”
b.
Nafs saat
menjadi Ammarah Bissu’i.
Sesungguhnya diri manusia
diciptakan dalam keadaan sempurna dan terilhami oleh fitrah dan wahyu. Lalu
datanglah godaan setan dan mengubah kondisi kesempurnaannya yang semula ada
dengan menyuruh manusia untuk melakukan suatu keburukan. Pada saat itulah
kecenderungan kepada keburukan itu lebih disebut sebagai ammarah bissu’i.
Bentuk penyimpangan ditampakkan dalam peristiwa pembunuhan pertama kalinya yang
terjadi dimuka bumi,
“Maka hawa
nafsu Kabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itulah
dibunuhnyalah…..”(al-Maa’idah:
30)
Setan menggoda manusia untuk
melakukan perbuatan buruk. Itulah sebabnya, mengapa Al-Qur’an pun membebankan
tanggung jawab yang besar bagi diri manusia untuk bisa mengendalikan dirinya
dari setiap godaan yang datang.
Pada hari kiamat kelak, setan
akan membela dirinya dari tuduhan manusia kepadanya, sebagaimana tampak pada
ucapannya,
“Sekali-kali
tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeruh kamu
lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan
tetapi cercalah dirimu sendiri.” (Ibrahim: 22)
c.
Nafs saat
menjadi Lawwamah.
Sebagian pakar ilmu tafsir
berpendapat bahwa nafs lawwamah dialami oleh orang yang beriman, sedang
sebagian yang lainnya berpendapat bahwa ia bisa dialami oleh siapapun jua[1].
Bila nafs lawwamah dialami oleh semua manusia, maka bisa dikatakan penyesalan
yang ada merupakan satu sinyal bagi akal aktif manusia untuk bisa merenungkan
masa yang telah berlalu. Namun jika hanya dialami oleh orang yang beriman maka
satu sinyal baginya untuk bisa introspeksi
diri dan memperbaiki segala kesalahan yang telah dilakukan.
d.
Nafs saat
menjadi Zakiyyah.
Nafs zakiyyah akan dialami
individu bila ia mampu bermujahadah dan mengendalikan semua keburukan psikis
yang mampu menjadi polusi bagi fisiknya. Diri yang suci hanya akan mencukupkan
dirinya dengan dorongan biologis. Allah berfirman,
“Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya),” maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah yang menyucikan
jiwa, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(asy-Syams: 7-10)
e.
Nafs saat
menjadi Muthmainnah Radhiyyah.
Al-Qur’an sendiri telah
mengabarkan bahwa siapa pun yang dianugrahi dengan keridhaan dan ketenangan
dalam hidupnya akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan di akhirat kelak.Allah berfirman,
“Hai jiwa yang tenang .” “Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yan puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah
hamba – hamba –Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (al-Fajr: 27 & 30)
V.
SUMBER JIWA AGAMA MENURUT PARA AHLI
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan
menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan
fakulty.
1.
Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama
adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan .
Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini antar
lain:
a.
Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang
menjadi sumber jiwa agama adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia
menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa
ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya
ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia
butuh atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c.
Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama
adalah faktor non rasional yang dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous)
sebagai perasaan takjub, kagum yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”.
Perasaan ini diistilahkan sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan
menarik.
d.
Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama
adalah libido sexual. Ide ini berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan
Dedipoes pada ayahnya karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu
timbul perasaan bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan,
sebagai bentuk awal kepercayaan pada Tuhan.
2.
Teori Fakulti (Faculty Theory)
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari
satu faktor saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap
paling berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Tokoh
dari teori ini antara lain:
a.
G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa
agama adalah konflik batin. Dalam kehidupan manusia terus didera berbagai
masalah yang membuat batin mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika
perasaan ini telah memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari
pertolongan pada “Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b.
Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga
memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan
rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa
sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat
tersalurkan melalui agama.
c.
W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia
mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk
selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman.
Kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
VI.
Perkembangan Jiwa Keagamaan pada
Remaja
Menurut
Zaskia (1970: 122-125), masih ada beberapa patokan umum yang menjadi ciri yang
dialami oleh remaja dalam perkembangan jiwa keagamaannya, antara lain sebagai
berikut:
1.
Pertumbuhan jasmani secara cepat telah selesai : Hal ini berarti
bahwa dari segi jasmani mereka telah matang. Artinya segala fungsi jasmaniah
mulai atau telah dapat bekerja.
2.
Pertumbuhan kecerdasaan hampir selesai : Pada usai remaja, mereka
telah mampu memahami hal-hal yang abstrak dan sekaligus telah mampu mengambil
kesimpulan abstrak dan sesuatu yang bersifat indrawi.
3.
Pertumbuhan pribadi belum selesai : Pribadi mereka mengalami
kegoncangan dan ketidakpastian. Mereka belum mampu berdiri sendiri, belum
sanggup mencari nafkah untuk membiayai sendiri segala kebutuhannya.
4.
Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan : Mereka masih merasa
betapa pentingnya pengakuan sosial bagi remaja. Mereka akan merasa sangat
sedih, apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat dan teman-temannya.
5.
Keadaan jiwa agama yang tidak stabil : Tak jarang kita melihat
remaja mengalami keguncangan atau ketidakstabilan dalam beragama. Misalnya
mereka kadang-kadang sangat tekun menjalankan ibadah, tetapi pada waktu lain,
enggan melaksanakannya bahkan mungkin menunjukan sikap seolah-olah anti agama.
VII.
Sikap Remaja terhadap Agama
Zakiah
(1970: 91) membagi sikap remaja terhadap masalah keagamaan sebagai berikut:
1)
Percaya turut-turutan
Sesungguhnya
kebanyakan remaja yang percaya kepada tuhan dan menjalankan agama, adalah
mereka yang terdidik dalam lingkungan yang beragama. Kepercayaan inilah yang
disebut kepercayaan yang turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tak ada
perhatian untuk meningkatkan agama dan tak mau aktif dalam kegiatan-ekgiatan
agama.
2)
Percaya dengan kesadaran
Kesadaran
atau semangat keagamaan pada masa remaja
dimulai dengan kecendrungan untuk meninjau dan meneliti ulang cara ia beragama
di masa kecil lalu, semangat keagamaan ini tidak terjadi sebelum umur 17 atau
18 tahun.
3)
Kebimbangan beragama
Sesungguhnya
kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah diterima tanpa kritik semasa
kecil merupakan pertanda pula bahwa kesadaran beragama telah terasa oleh
remaja. Kebimbangan itu mulai menyerang remaja setelah pertumbuhan kecerdasan
mencapai kematangannya, sehingga ia dapat mengkritik, menerima, atau menolak
apa saja yang diterangkan kepadanya.
4)
Tak peracya kepada Tuhan
Salah
satu perkembangan yang mungkin terjadi dia kahir masa remaja adalah mengingkari
wujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan lain atau mungkin tak
mempercayai-Nya sama sekali.
VIII.
Faktor yang Berpengaruh terhadap
Perkembangan ke Agamaan Remaja
Sikap keagamaan adalah suatu
kondisi diri seseorang yang dapat
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Dengan demikian, jiwa keagamaan tak luput dari berbagai gangguan yang
dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut bersumber dari dalam diri
seseorang maupun bersumber dari faktor luar.
1. Faktor
Intern : Faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan,
antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi
kejiwaan seseorang.
2. Faktor
Ekstern : Lingkungan keluarga, institusi dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
ü Taufiq, Muhammad Izzuddin. 2006. Panduan Lengkap & Praktis Psikologi
Islam. Jakarta: Gema Insani.
ü Agus, M Harjana. 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta:
Kanisius, cet I.
ü Jalaludin, H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
ü Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Ibnu Jauzy
berpendapat dalam bukunya Zadul Masir’ ada 3 pendapat dalam menanggapi nafs
lawwamah. Pertama, dialami oleh orang yang buruk imannya; kedua, dialami oleh
orang yang beriman; ketiga, dialami oleh semua orang ‘ Jilid 8,hlm. 133
Komentar
Posting Komentar