UPACARA PERNIKAHAN DALAM MASYARAKAT JAWA DILIHAT DARI SEGI AGAMA KEJAWEN
UPACARA PERNIKAHAN DALAM
MASYARAKAT JAWA DILIHAT DARI SEGI AGAMA KEJAWEN
1.1. Latar Belakang
Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk
memberikan informasi kepada mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDIK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai
kebudayaan Kejawen yang berkonteks kepada “UPACARA PERNIKAHAN DALAM MASYARAKAT
JAWA DILIHAT DARI SEGI AGAMA KEJAWEN.” Upacara pernikahan pada
masyarakat Jawa ini bisa disebut dengan slametan[1] yang
terfokus kepada ucapan dan perbuatan yang menunjukkan kepada rasa syukur atas
apa yang telah didapat dari Allah SWT. Atas kebahagiaan yang telah
didapatkan oleh kedua mempelai dan sanak keluarga yang turut serta dalam
penyelenggaraan acara pernikahan itu. pada masyarakat era sekarang ini
kebudayaan hanya menjadi sebuah simbol (sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu
tetapi sekaligus menyebabkan atau menghadirkan sesuatu yang lain, biasanya
disepakati secara sosial) semata untuk memberikan efek etnik terhadap upacara
pernikahan yang diselenggarakan.
Pernikahan dalam kebudayaan
jawa bukan hanya terletak dalam acara ijab khobulnya saja melainkan
ritual-ritual lain yang memberikan nilai atau makna tersendiri terhadap upacara
pernikahan tersebut. Dalam upacara pernikahan memiliki pemaknaan tersendiri
mengenai ritual-ritual yang dilakukan dalam serangkaian upacara pernikahan yang
terkadang mengkaitkannya dengan mitos. Mitos[2] bukan
berasal dari pemikiran intelektual semata dan bukan pula hasil dari logika,
tetapi hasil orintasi dari spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang
Ilahi. Pemaknaan terhadap ritual-ritual itu secara garis besar sering dikaitkan
dengan mitos yang berlaku dikalangan masyarakat jawa pada umumnya. Namun tidak
semua masyarakat membenarkan mitos yang ada, walaupun tidak membenarkan tetapi
tak jarang mereka tetap menjujung tinggi ritual-ritual itu dalam rangka melestarikan
budaya yang ada. Namun, tak jarang juga ada beberapa masyarakat jawa yang
menomor duakan atau bahkan tidak menggunakan ritual-ritual itu dalam
pengaplikasian upacara pernikahannya. Keputusan untuk menggunakan atau tidaknya
sebuah ritual itu sendiri kembali kepada pemahaman masyarakat Jawa itu sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Masyarakat Jawa Secara Global ?
2. Maksud
dari Agama Kejawen dalam masyarakat Jawa ?
3. Upacara
Pernikahan : berbagai ritual-ritual dan pemaknaan dari ritual-ritual yang
terdapat dalam upacara pernikahan masyarakat jawa ?
1.3. Metodelogi
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan beberapa Metodelogi, yang
dapat membantu penulis dalam mendapatkan data – data yang riil dalam penyusunan
laporan ini, terdapat 2 unsur yaitu :
1. Metode
wawancara, yaitu penulis langsung mengumpulkan data berdasarkan mewawancarai
orang beretnik Jawa dan masih menjunjung kebudayaan dalam Upacara Pernikahan.
2. Metode
Pustaka, selain menggunakan metode pengamatan dokumentasi dan wawancara,
penulis juga menggunakan beberapa buku sebagai penunjang, guna memperoleh
data-data tambahan yang diperlukan.
2.1. Masyarakat Jawa
Jawa dalam
kaitan ini bukan sekedar letak geografis melainkan lebih ditekankan kepada
etnis di salah satu kepulauan Indonesia ini. Orang Jawa, saat ini dan bahkan
pada masa yang akan datang akan terus tersebar luas sampai luar kepulauan jawa
melainkan keantarpulau, bahkan antar benua.
Masyarakat Jawa, yang dimaksud
disini adalah masyarakat yang beretnis Jawa yang masih berkomitmen terhadap
kebudayaan Jawa yang berkonteks pada upacara pernikahan. Kebudayaan dalam
upacara pernikahan ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang beretnis Jawa
yang masih tinggal di Pulau Jawa atau tinggal di luar Pulau Jawa.
Dalam masayarakat Jawa terdapat
dua penggolongan menurut Clifford Geertz, yakni “santri” dan “abangan”. Santri,
memiliki sikap fanatik tetapi tidak berlebihan terhadap kebudayaan leluhurnya
yaitu kebudayaan jawa. Abangan, tentu lebih memiliki sikap fanatik terhadap
kebudayaan Jawa yang ia percayai dan ia yakini (perbuatan dan tindakan sesuai
dengan yang telah ia percayai).
Harus diakui, bahwa masyarakat
Jawa yang menganut atau memiliki sikap teguh terhadap kebudayaan Jawa sering
kali mengalami pasang surut kehidupan terhadap suatu kebudayaan terutama dalam
kancah interaksi antar budaya. Secara tidak langsung, masyarakat Jawa dengan
sendirinya masih mengagumi dan menitih beratkan lembaga keraton sebagai pusat
kebudayaan jawa.
2.2. Agama Kejawen
dalam Masyarakat Jawa
Dalam
masayarakat jawa sering terdengar mengenai “Kejawen”, apa yang dimaksud
“kejawen disini ialah tercampurnya suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep
Hindu-Buddha yang cendrung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan
diakui sebagai agama Islam”. Hindu dan Buddha merupakan dua agama yang lebih
dulu masuk ke Jawa sebelum datangnya Islam dan Protestan serta Katolik. Sudah
pasti religi masyarakat Jawa terpengaruh lebih dulu oleh agama
tersebut, apalagi Hindu masuk ke Jawa sejak abad ke-5an dan agama Buddha di
sekitar abad itu. Dapat dipahami bahwa Hindu dan Buddha nampak kuat ajaran
mistiknya, keduannya sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap mistik dalam
religi Jawa.
Mistik merupakan salah satu
bentuk dari hasil proses pembentukan kebudayaan religi di Jawa. Tatkala Islam
kultural dari tradisi besar pesantren bersentuhan dengan kebudayaan religi jawa
terjadilah interaksi diantara keduanya. Dari kedua itulah munculah bentuk
mistik baru yang disebut dengan “Mistik Islam Kejawen”, yang sering dikaitan
dengan kehidupan kalangan keraton jawa.
2.3. Pernikahan dan
berbagai ritual-ritual dalam kebudayaan Jawa
Di Jawa seperti
juga ditempat lain, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua
insan yang saling jatuh cinta. Meski ada juga perkawinan yang terjadi karena
dijodohkan oleh orang tua Sementara orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui
pepatah : Witing tresno jalaran soko kulino, artinya : Cinta
tumbuh karena terbiasa. Dikatakan demikian dikarenakan rasa cinta muncul
seiring kebersamaan yang dilalui bersama, dari situlah muncul rasa ingin
memiliki dan saling menjaga satu sama lain.
Di Jawa dimana
kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan
dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua
insan yang berkasih akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa mereka telah
menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan pasangan hidupnya.
Dalam penentuan pasangan untuk putra/i nya orang tua dalam masyarakat jawa
tidak asal pilih, mereka memiliki falsafah hidup yang selalu dijunjung tinggi
yang bisa disebut sebagai kebudayaan kuno yang masih turun temurun diantara
mereka. Falsafah Hidup Mereka, yakni : Bibit, bebet, dan bobot.
1. Bibit :
artinya mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik. Karena kepemilikan
latar belakang yang baik akan membuat nama keluarga mereka dan keturunan mereka
menjadi baik.
2. Bebet :
calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
3. Bobot :
kedua calon penganten adalah orang yang berkwalitas, bermental baik dan
berpendidikan cukup.
Biasanya setelah kedua belah
pihak dari keluarga menyetujui, dari apa-apa yang sudah sesuai menurut kedua
belah pihak maka dilakukan langkah-langkah selanjutnya, menurut kebiasaan
adalah sebagai berikut :
A. Pinangan
Biasanya yang melamar adalah
pihak calon penganten pria. Pada masa lalu, orang tua calon penganten pria
mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk meminang. Tetapi kini, untuk
praktisnya orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua pihak
wanita. Bila sudah diterima,langsung akan dibicarakan langkah-langkah
selanjutnya sampai terjadinya upacara perkawinan.
Dalam adat jawa pola pinangan
secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari tiga tahap. Pertama-tama,
semacam perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara
si pemuda, dengan maksud menghindari rasa malu apabila ditolak. Tahap kedua,
sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan resmi
oleh si pemuda ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain.
Kunjungan ini dinamakan nontoni, “melihat-lihat”, tujuannya
untuk memberi kesempatan baik kepada si gadis maupun si pemuda untuk saling
melihat dan yang paling penting memberi kesempatan kepada orang tua kedua belah
pihak untuk saling menilai. Yang ketiga, pinangan resmi yang dilakukan oleh
pihak mempelai si pemuda. Orang tua si pemuda berkunjung kerumah orang tua
pemudi, atau mengirim seorang utusan atau mengirim sehelai surat. Biasanya
dengan cara ini belum bermaksud untuk menjadi besan bagi orang
tua si pemudi itu.[3]
Perundingan pinangan dapat
diselenggarakan dengan cara yang sangat resmi, penuh tata cara dan njlimet, tetapi
juga bisa dengan cara yang sederhana dan lugas jika semua pihak yangbersamkutan
telah saling kenal dan bahkan teman lama. Jika pinangan diterima oleh pihak si
gadis makan akan dilakukan pertunangan. Masa pertunangan biasanya pendek saja,
terkadang sekedar sehari atau dua hari, jarang lebih dari satu bulan. Menurut
adat, ketika persetujuan tercapai, pemuda memberikan suatu hadiah bagi
pemudinya pada saat upaca pernikahan. Setelah membicarakan hal-hal yang
menyangkut hadiah atau “sasrahan” kedua mempelai baik orang tua
maupun calon pengantin membicarakan hal-hal yang menyangkut keberlangsungan
pernikahan mereka kelak.
Hal-hal yang perlu dibicarakan
antara lain meliputi. Tanggal dan hari pelaksanaan perkawinan, ditentukan kapan
pernikahannya, jam berapa, biasanya dicari hari baik, menurut perhitungan jawa.
Kalau hari pernikahan sudah ditentukan, upacara lain yang terkait seperti : peningsetan, siraman, midodareni, panggih,
resepsi dll, tinggal disesuaikan.
Tidak kurang penting adalah
pemilihan seorang pemaes, juru rias penganten tradisional. Dalam
upacara perkawinan tradisional, peran seorang perias temanten sangat
besar, karena dia beserta asisten-asistennya akan membimbing, paling tidak
memberitahu seluruh pelaksanaan upacara, lengkap dengan sesaji yang diperlukan.
Seorang pemaes yang kondang, mumpuni dan ahli dalam bidangnya,
biasanya juga punya jadwal yang ketat, karena laris, diminta merias dibanyak
tempat, terlebih dibulan-bulan baik menurut perhitungan kalender Jawa. Oleh
karena itu, perias temanten harus dipesan jauh hari.
Perlu diprioritaskan pula
pemilihan tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan itu. Misalnya dimana
tempat akad nikah, temu manten dan resepsinya. Apakah akan
dilaksanakan dirumah, disebuah gedung pertemuan atau dihotel. Itu semua
tergantung dari pihak keluarga maupun pihak pengantinnya itu sendiri.
Dalam pelaksanaan perkawinan adat
Jawa, pihak calon penganten wanita secara resmi adalah yang punya gawe, pihak
pria membantu. Bagaimana pelaksanaan upacara perkawina, apakah sederhana,
sedang-sedang saja atau pesta besar yang mengundang banyak tamu dan lengkap
dengan hiburan, secara realitas itu tentu tergantung kepada anggaran yang tersedia.
Pada saat ini kedua pihak sudah lebih terbuka membicarakan budget (biaya)
tersebut.
B. Kesibukan
dirumah calon penganten putri
Yang lebih sibuk memang pihak
orang tua calon penganten wanita. Hal-hal yang mesti dilakukan adalah :
1. Mengundang
keluarga terdekat untuk membicarakan dan menyiapkan seluruh proses perkawinan.
Secara tradisi dibentuk sebuah panitia yang terdiri dari anggota keluarga dan
kenalan dekat dan masing-masing mempunyai tugas yang jelas. Hal yang penting
pula adalah penunjukkan pihak yang bertanggungjawab tentang konsumsi, Catering
mana yang akan ditunjuk. Penunjukkan catering berdasarkan pengalaman penting
sekali, harus yang baik dan bertanggungjawab dan servicenya memuaskan.
Pada masa kini, dengan
pertimbangan praktis, ada keluarga yang punya hajat, menunjuk seluruh
pelaksanaan upacara diserahkan kepada Event Organizer yang
profesional.
Mungkin penunjukan Event
Organizer dimaksud supaya tidak merepotkan keluarga yang lain, ada
baiknya. Tetapi perlu diingat bahwa upacara perkawinan tradisional itu adalah
juga sebuah acara untuk keluarga, menyangkut segi sosial, dimana para tamu
selain hadir untuk memberi selamat kepada kedua temanten, juga
untuk mempererat persaudaraan dan persahabatan antara pihak pengundang dan yang
diundang. Pada banyak kejadian,sebuah upacara perkawinan tradisional yang
dikendalikan sepenuhnya oleh Event Organizer terasa kaku,
meski mereka melaksanakan benar sesuai prosedur langkah-langkah yang
dilaksanakan. Yang hilang dari upacara itu adalah “roh” dari upacara ritual
tersebut.
Oleh karena itu, beberapa
pelestari budaya Jawa yang mau mengerti “segi kepraktisan zaman” berpendapat
sebaiknya untuk pelaksanaan hal-hal inti, meski ada Event Organizer,
tetap harus ada anggota keluarga yang terlibat. Bagaimanapun, keluarga yang
punya gawe harus membentuk panitia kecil praktis yang mampu mengarahkan dan
membantu dan kalau perlu meluruskan kerja para personil Event Organizer tersebut.
2. Pemasangan Bleketepe dan Tarub
Sehari sebelum upacara
perkawinan, rumah orang tua mempelai wanita dipasangi tarub dan bleketepe
dipintu masuk halaman depan. Dibuat gapura yang dihiasi tarub yang terdiri dari
berbagai tuwuhan ,yaitu tanaman dan dedaunan yang punya arti simbolis.
Dikiri kanan gapura
dipasang pohon pisang yang sedang berbuah pisang yang telah matang.
Artinya : Suami akan menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan bermasyarakat.
Seperti pohon pisang yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun dengan
lingkungan, keluarga baru ini juga akan hidup bahagia, sejahtera dan rukun
dengan lingkungan sekitarnya.
Sepasang tebu wulung,
pohon tebu yang berwarna kemerahan, merupakan simbol mantapnya kalbu, pasangan
baru ini akan membina dengan sepenuh hati keluarga mereka.
Cengkir gading- kelapa kecil berwarna kuning, melambangkan
kencangnya-kuatnya pikiran baik, sehingga pasangan ini dengan sungguh-sungguh
terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta.
Berbagai macam dedaunan segar
seperti : beringin, mojokoro,alang-alang,dadap srep,
merupakan harapan supaya pasangan ini hidup dan tumbuh dalam keluarga
yang selalu selamat dan sejahtera.
Anyaman daun kelapa yang
dinamakan bekletepe digantungkan digapura depan rumah, ini
dimaksudkan untuk mengusir segala gangguan dan roh jahat dan
sekaligus menjadi pertanda bahwa dirumah ini sedang dilakukan upacara
perkawinan.
Sesaji khusus diadakan sebelum
pemasangan tarub dan bekletepe, yang terdiri dari : nasi tumpeng,
berbagai macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai macam lauk
pauk, kue-kue, minuman, bunga, jamu, tempe, daging kerbau, gula kelapa dan
sebuah lentera.
Sesaji ini melambangkan
permohonan supaya mendapatkan berkah dari Tuhan, Gusti dan restu dari para
leluhur dan sekaligus sebagai sarana untuk menolak goda mahluk-mahluk halus
jahat.
Sesaji ditempatkan dibeberapa
tempat dimana prosesi upacara perkawinan dilaksanakan seperti didapur, kamar
mandi, pintu depan, dibawah tarub, dijalan dekat rumah dll.
C. Upacara-upacara
sebelum pernikahan
1. Siraman
Siraman dari asal kata siram ,artinya mandi. Sehari
sebelum pernikahan, kedua calon penganten disucikan dengan cara dimandikan yang
disebut Upacara Siraman. Calon penganten putri dimandikan dirumah
orang tuanya, demikian juga calon mempelai pria juga dimandikan dirumah orang
tuanya.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan
untuk Siraman :
a. Persiapan tempat untuk siraman, apakah
dilakukan dikamar mandi atau dihalaman rumah belakang atau samping.
b. Daftar orang-orang yang akan ikut memandikan. Sesuai
tradisi selain kedua orang tua temanten, eyang temanten,
beberapa pinisepuh. Yang diundang untuk ikut memandikan adalah
mereka yang sudah sepuh, sebaiknya sudah punya cucu dan punya reputasi
kehidupan yang baik.
c. Sejumlah barang yang diperlukan seperti : tempat
air/Kwali[4],
gayung, kursi, kembang setaman, kain, handuk, kendi dsb.
d. Sesaji untuk siraman, ada lebih dari
sepuluh macam, diantaranya adalah seekor ayam jago.
e. Pihak keluarga penganten putri mengirimkankan sebaskom
air kepada pihak keluarga penganten pria. Air itu disebut air suci perwitosari artinya
sari kehidupan, yaitu air yang dicampur dengan beberapa macam bunga,yang
ditaruh dalam wadah yang bagus, untuk dicampurkan dengan air yang untuk
memandikan penganten pria.
f. Pihak terakhir yang memandikan penganten adalah pemaes,
yang menyirami calon penganten dangan air dari sebuah kendi. Ketika kendi telah
kosong, pemaes atau seorang pinisepuh yang
ditunjuk, membanting kendi dilantai sambil berkata : Wis pecah pamore.
artinya calon penganten yang cantik atau gagah sekarang sudah siap untuk kawin.
g. Upacara siraman selesai dan calon
penganten dengan memakai kain batik motif grompol dan ditutupi
tubuhnya dengan kain batik motif nagasari, dituntun kembali keruang
pelaminan. Calon temanten putri akan dikerik oleh pemaes.
2. Upacara Ngerik
Ngerik artinya rambut-rambut kecil diwajah calon
pengantin wanita dengan hati-hati dikerik oleh pemaes. Rambut
penganten putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Perias
mulai merias calon penganten. Wajahnya dirias dan rambutnya digelung sesuai
dengan pola upacara perkawinan yang telah ditentukan.
Dalam upacara ngerik ini terdapat
sesaji. Sesaji untuk ngerik sama dengan sesaji siraman.
Jadi untuk praktisnya, seluruh sesaji siraman dibawa masuk
kekamar pelaminan dan menjadi sesaji untuk ngerik.
Sesudah selesai, penganten
didandani dengan kebaya yang bagus yang telah disiapkan dan kain batik motif
sidomukti dan sidoasih, melambangkan dia akan hidup makmur dan dihormati oleh
sesama.
Pada malam harinya, ayah dan ibu
calon mempelai putri memberikan suapan terakhir kepada putrinya, karena mulai
besok, dia sudah berada dibawah tanggung jawab suaminya.
3. Upacara
Midodareni
Pada upacara midodareni yang
berlangsung dimalam hari sebelum Ijab dan Temu Manten/Panggih di
keesokkan harinya, kedua orang tua calon mempelai pria beserta calon mempelai
pria, diantar oleh keluarga dekatnya, berkunjung kerumah orang tua calon
mempelai putri.
Calon mempelai putri setelah
dirias dikamar pelaminan, nampak cantik sekali bagai widodari/bidadari,
dewi dari kahyangan.
Sesuai kepercayaan kuno, malam
itu mempelai putri ditemani oleh beberapa dewi cantik dari kahyangan. Malam itu
dia harus tinggal dikamar dan tidak boleh tidur dari jam enam sore sampai
tengah malam. Beberapa ibu sepuh menemani dan memberikan nasihat-nasihat
berharga, untuk kehidupannya kelak dalam menjalani bahtra rumah tangga.
Keluarga calon mempelai pria yang
wanita, yang datang dimalam midodareni, boleh menengok calon
mempelai wanita yang sudah didandani cantik, siap untuk nikah esok harinya.
Sesuai adat, dikamar pelaminan ada sesaji khusus untuk upacara midodareni,
ada sebelas macam makanan dan barang; selain itu ada tujuh macam barang yang
lain.
4. Upacara diluar
kamar pelaminan
Dimalam midodareni,
orang tua dan keluarga calon penganten putri, menerima kunjungan dari orang tua
dan keluarga dari calon penganten pria. Mereka duduk didalam rumah, saling
berkenalan dan bersantap bersama. Calon penganten pria juga datang, tetapi dia
tidak boleh masuk rumah dan hanya boleh duduk diserambi depan rumah. Diapun
hanya disuguhi segelas air minum, tidak boleh makan atau minum yang lain. Ini
konon untuk melatih kesabaran seorang suami dan kepala keluarga.
5. Srah-srahan
atau Peningsetan
Dalam upacara midodareni,
bisa dilakukan srah-srahan atau peningsetan. (Pada
zaman dulu, peningsetan dilakukan sebelum malam midodareni).
Orang tua dan keluarga calon penganten pria memberikan beberapa barang kepada
orang tua calon penganten wanita.
Peningsetan dari kata singset, artinya mengikat
erat, dalam hal ini terjadinya komitmen akan sebuah perkawinan antara putra
putri kedua pihak dan para orang tua penganten akan menjadi besan.
Premberian itu berupa : Satu set suruh
ayu sebagai perlambang harapan tulus supaya mendapatkan keselamatan.
Seperangkat pakaian untuk penganten wanita , termasuk beberapa kain batik
dengan motif yang melambangkan kebahagiaan hidup. Tidak boleh ketinggalan
sebuah stagen, ikat pinggang kain putih yang besar dan panjang,
sebagai pertanda kuatnya tekad. Beberapa hasil bumi, seperti : beras, gula,
garam, minyak goreng, buah-buahan dll sebagai pralambang hidup kecukupan dan
sejahtera bagi keluarga baru..
Sepasang cincin kawin untuk kedua
mempelai. Pada kesempatan ini, pihak calon mempelai pria menyerahkan sejumlah
uang, sebagai sumbangan untuk pelaksanaan upacara perkawinan. Ini hanya
formalitas belaka, karena urunan uang sudah diberikan jauh hari sebelumnya.
Sesudah bersantap bersama dan
saling berkenalan, seluruh keluarga rombongan orang tua temanten pria
berpamitan untuk pulang. Mereka perlu mempersiapkan diri untuk besok yaitu
pelaksanaan upacara perkawinan yang penting termasuk pernikahan secara agama,
Upacara adat temu manten dsb.
Catatan : Menurut adat perkawinan
Surakarta, sewaktu rombongan tamu berpamitan pulang, pihak tuan rumah
memberikan angsul-angsulan (bawaan untuk calon mempelai pria),
berupa buah-buahan, kue-kue dan seperangkat pakaian temanten pria
yang akan dipakai besok. Pada adat perkawinan gaya Yogyakarta, tidak ada angsul-angsulan.
6. Nyantri
Sewaktu rombongan keluarga temanten pria
pulang dari upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut
diajak pulang. Tetapi, bila calon mempelai pria nyantri, maka dia
ditinggal dirumah calon mertuanya. Tentu nyantri sebelumnya
sudah dibicarakan dan disetujui kedua pihak. Begini tata caranya : Orang tua
calon mempelai pria melalui jurubicara keluarga mengatakan kepada orang tua
calon mempelai wanita, bahwa calon mempelai pria tidak diajak pulang dan
menyerahkan tanggung jawab kepada orang tua calon mempelai putri.
Setelah keluarganya pulang,
ditengah malam dia dipersilahkan masuk rumah untuk makan, tidak boleh ketemu
calon istrinya dan sesudah itu diantar kekamar tidur untuk beristirahat. Nyantri dilaksanakan
untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk
pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan pernikahan, kedua calon
mempelai sudah berada disatu tempat
7. Pelaksanaan
Ijab
Ijab adalah hal paling penting
untuk melegalisir sebuah perkawinan. Ijab atau perkawinan dilaksanakan sesuai
dengan agama yang dianut kedua penganten, bisa Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, Konghucu.
Kini, warga Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, perkawinannya juga diakui sah oleh negara sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Persiapan untuk pernikahan/ Ijab,
harus benar-benar cermat, supaya lancar dan aman. Sesudah Ijab selesai, artinya temanten sudah
sah sebagai suami istri. Tentu hati rasanya “plong”, orang tua dan keluarga
kedua pihak juga lega.
8. Upacara Panggih
atau Temu Penganten.
Secara tradisional Upacara Panggih atau Temu
Penganten dilaksanakan dirumah orang tua penganten putri. Pada saat
yang telah ditentukan, penganten pria diantar oleh saudara-saudaranya kecuali
kedua orang tuanya yang tidak boleh hadir dalam upacara ini, tiba didepan rumah
pengantin putri dan berhenti didepan pintu rumah. Sementara itu, pengantin
wanita dengan didampingi saudara-saudaranya dan diikuti kedua orang tuanya,
menyongsong kedatangan rombongan pengantin pria dan berhenti dipintu depan
rumah.
Didepan pengantin wanita, dua
gadis kecil yang disebut patah membawa kipas. Dua anak laki-laki muda atau dua
orang ibu, masing-masing membawa sebuah rangkaian bunga khusus yang namanya kembar
mayang . Seorang ibu pengiring pengantin pria maju dan memberikan Sanggan kepada
ibu pengantin putri sebagai tanda penghormatan untuk penyelenggaraan upacara
perkawinan. Sanggan itu berupa buah pisang yang dibungkus rapi
dengan daun pisang dan ditaruh diatas nampan.
Pada waktu upacara panggih, kembar
mayang dibawa keluar rumah dan dibuang diperempatan jalan dekat rumah
atau didekat berlangsungnya upacara perkawinan, maksudnya supaya upacara
berjalan selamat dan tidak ada gangguan apapun dan dari pihak manapun.
9. Balangan suruh
Kedua penganten bertemu dan
berhadapan langsung pada jarak sekitar dua atau tiga meter, keduanya berhenti
dan dengan sigap saling melempar ikatan daun sirih yang diisi dengan kapur
sirih dan diikat dengan benang. Ini yang disebut ritual balangan suruh.
Kedua penganten dengan
sungguh-sungguh saling melempar sambil tersenyum, diiringi kegembiraan semua
pihak yang menyaksikan. Menurut kepercayaan kuno, daun sirih punya daya untuk
mengusir roh jahat. Sehingga dengan saling melempar daun sirih, kedua pengantin
adalah benar-benar pengantin sejati, bukan palsu.
10. Ritual Wiji Dadi
Penganten pria menginjak sebuah
telur ayam kampung hingga pecah dengan telapak kaki kanannya, kemudian kaki
tersebut dibasuh oleh penganten putri dengan air kembang. Artinya : rumah
tangga yang dipimpin seorang suami yang bertanggung jawab dengan istri yang
baik, tentu menghasilkan hal yang baik pula termasuk anak keturunan.
Ritual memecah telur ini ada
versi lain dari Yogyakarta, pelaksanaannya sebagai berikut : Pengantin pria dan
wanita berdiri berhadapan tepat. Telapak kaki kanan mempelai pria dibasuh dengan
air kembang oleh mempelai putri dengan sikap jongkok. Perias temanten sebagai
pembimbing upacara, memegang telur ayam kampung itu ditangan kanannya. Ujung
telur tersebut oleh perias ditempelkan pada dahi pengantin pria dan kemudian
pada dahi pengantin wanita. Kemudian telur itu dipecah oleh perias diatas
tumpukan bunga yang berada diantara kedua pengantin Ini penggambaran kedua
pengantin sudah mantap dalam satu pikiran, sadar saling kasih membina rumah
tangga yang bahagia sejahtera dan menghasilkan anak keturunan yang baik-baik
11. Ritual Kacar Kucur atau Tampa Kaya.
Sepasang pengantin dengan
bergandengan dengan jari kecilnya berjalan menuju depan krobongan,
tempat dimana upacara tampa kaya diadakan.Upacara kacar-kucur ini
menggambarkan : suami memberikan seluruh penghasilannya kepada istri. Dalam
ritual ini suami memberikan kepada istri : kacang, kedelai, beras, jagung, nasi
kuning, dlingo bengle, beberapa macam bunga dan uang logam dengan
jumlah genap. Istri menerima dengan segenap hati dengan selembar kain putih
yang ditaruh diatas selembar tikar tua yang diletakkan diatas pangkuannya.
Artinya istri akan menjadi ibu rumah tangga yang baik dan berhati-hati
Catatan : Pada masa dulu, ritual tampa kaya, dhahar
kembul dll, memang dilakukan didepan krobongan yang
ada disenthong tengah (Ruang tengah rumah kuno yang biasa
dipakai untuk melakukan sesaji). Pada masa kini, ritual tersebut tetap diadakan
meskipun upacara perkawinan diadakan digedung pertemuan atau hotel. Dekorasi
dibelakang kursi temanten adalah ukiran kayu yang berbentuk krobongan.
Ini untuk mengikuti perkembangan zaman dan sekaligus tetap melestarikan
tradisi.
12. Ritual Dhahar Klimah atau Dhahar Kembul
Dengan disaksikan orang tua
pengantin putri dan kerabat dekat, sepasang pengantin makan bersama, saling
menyuapi. Mempelai pria membuat tiga kepal nasi kuning dengan lauknya berupa
telor goreng, tempe, kedelai, abon, ati ayam. Lalu ia menyuapkan kepada
istrinya, sesudah itu ganti sang istri menyuapi suaminya, diakhiri dengan minum
teh manis bersama. Ini melambangkan bahwa mulai saat ini keduanya akan
mempergunakan dan menikmati bersama apa yang mereka punyai.
13. Mertui atau Mapag Besan
Kedua orang tua pengantin putri
menjemput kedua orang tua pengantin pria didepan rumah (untuk perkawinan
digedung menjemputnya didepan ruangan tempat berlangsungnya acara ritual) dan
mempersilahkan mereka masuk rumah/ ruangan tempat upacara, selanjutnya mereka
berjalan bersama menuju ketempat upacara. Ibu-ibu berjalan didepan, bapak-bapak
mengiringi dari belakang. Kedua orang tua pengantin pria didudukkan sebelah
kiri pengantin, orang tua pengantin putri duduk disebelah kanan penganten.
14. Upacara Sungkeman
Sepasang pengantin melakukan sungkem kepada
kedua belah pihak orang tua. Mula-mula kepada orang tua pengantin wanita
kemudian kepada orang tua pengantin pria. Sungkem adalah
merupakan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh.
Pada waktu sungkem (
menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium
lutut yang di-sungkemi), keris yang dipakai pengantin pria dilepas dulu dan
dipegangi oleh perias, sesudah selesai sungkem, keris dikenakan kembali.
Orang tua dengan haru menerima
penghormatan berupa sungkem dari putra putrinya dan pada waktu yang bersamaan
juga memberikan restunya supaya keduanya menempuh hidup rukun, sejahtera. Tanpa
mengucapkan kata-kata itu, sebenarnya para orang tua pengantin sudah memberikan
restu yang dilambangkan dari kain batik yang dikenakan yang polanya truntum,
artinya punyailah rejeki yang cukup selama hidup. Kedua orang tua juga
menggunakan ikat pinggang besar yang namanya sindhur dengan
pola gambar dengan garis yang melekuk-lekuk, artinya orang tua mewanti-wanti
kedua anaknya supaya selalu bertindak hati-hati, bijak dalam menjalani
kehidupan nyata didunia ini.
D. Ritual
lain
Upacara-upacara diatas adalah
tradisi yang berlaku di Yogyakarta, didaerah Surakarta dan lainnya masih ada
tambahan ritual yang lain.
1. Sindhur
Binayang
Sesudah ritual Wiji Dadi,
ayah pengantin putri berjalan didepan kedua temanten menuju ke
kursi pengantin didepan krobongan, sedangkan ibu pengantin putri
berjalan dibelakang kedua temanten, sambil menutupi pundak kedua
pengantin dengan kain sindhur. Ini melambangkan , sang ayah
menunjukkan jalan menuju ke kebahagiaan, sang ibu mendukung.
2. Timbang
Kedua penganten bersama-sama
duduk dipangkuan ayahanda pengantin putri. Sesudah menimbang-nimbang sejenak,
ayahanda berkata : Sama beratnya, artinya ayah mencintai keduanya ,sama tidak
dibedakan.
3. Tanem
Selanjutnya, ayah mendudukkan
sepasang pengantin dikursi mahligai perkawinan. Itu untuk memperkuat
persetujuannya terhadap perkawinan itu dan memberikan restunya.
4. Bubak Kawah
Ayah pengantin putri, sesudah
upacara Panggih, minum rujak degan/ kelapa muda didepan krobongan.
Lalu istrinya ikut mencicipi minuman tersebut sedikit dari gelas yang sama,
diikuti anak menantu dan terakhir pengantin wanita. Ini merupakan perlambang
permohonan supaya pengantin segera dikaruniai keturunan.
5. Tumplak Punjen
Ritual ini dilakukan oleh orang
tua yang mengawinkan putrinya untuk terakhir kali. Tumplak artinya
menuang atau memberikan semua, punjen adalah harta orang tua
yang telah dikumpulkan sejak mereka berumah tangga. Secara simbolis kepada
masing-masing diberikan sebuah bungkusan kecil yang berisi bumbu-bumbu, nasi
kuning, uang logam dari emas, perunggu dan tembaga dll.
Dengan mengadakan tumplak
punjen, orang tua ingin memberi teladan kepada anak keturunannya, bahwa
mereka sudah purna tugas dan supaya generasi penerus selalu menyukuri karunia
Tuhan dan mampu melaksanakan tugas hidupnya dengan baik dan benar.
6. Tukar Kalpika
Pengantin melakukan tukar cincin
sebagai tanda kasih dan keterikatan suami istri yang sah.
7. Resepsi
Perkawinan
Sesudah seluruh rangkaian upacara
perkawinan selesai, dilakukan resepsi, dimana kedua temanten baru,
dengan diapit kedua belah pihak orang tua, menerima ucapan selamat dari para
tamu.
Dalam acara resepsi, hadirin
dipersilahkan menyantap hidangan yang sudah disediakan, sambil beramah tamah
dengan kerabat dan kenalan. Ada kalanya, sebelum resepsi dimulai, diadakan
pementasan fragmen tari Jawa klasik yang sesuai untuk perkawinan seperti
fragmen Pergiwo Gatotkaca atau tari Karonsih, yang
melukiskan hubungan cinta kasih wanita dan pria.
E. Upacara
Perkawinan di Karaton
Tidak bisa dipungkiri bahwa
karaton-karaton di Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta merupakan sumber dan
benteng budaya Jawa yang masih eksis dan tetap aktif melestarikan warisan
budaya leluhur.
Pada masa kini, upacara
perkawinan adat di karaton dan luar karaton, pada intinya sama. Hanya saja di
Karaton masih ada lagi ritual yang biasanya tidak dilakukan diluar , antara
lain:
1. Ngapeman
Dikaraton Ngayogyakarta, sebelum malam midodareni,
Sri Sultan Hamangubuwono X dan permaisuri dibantu oleh beberapa putri karaton
dan wanita abdi dalem, membuat kue apem di Bangsal Keputren.
2. Tantingan
Sri Sultan Hamangkubuwono X didampingi permaisuri,
sebelum pelaksanaan Ijab, menanyakan kepada putrinya yang akan menikah, apakah
benar-benar menghendaki untuk dinikahkan dengan calon mempelai pria.
3. Kelompok
“edan-edanan”
Sewaktu prosesi perkawinan di Karaton Surakarta dan
Yogyakarta, yaitu ketika pengantin dan rombongan pengiring berjalan menuju
kekursi tempat resepsi perkawinan, barisan iring-iringan dipimpin oleh seorang Suba
Manggala sebagai cucuk lampah, pembuka jalan terdepan yang
melangkahkan kaki dengan gerak tari mengikuti iringan gamelan. Dibelakang
pengantin yang bergandengan tangan dan berjalan anggun, berjalan dua gadis
kecil yang disebut patah dengan dandanan cantik. Diikuti
beberapa penari berpakaian bagus-bagus sambil menari menghibur hadirin.
Dibelakangnya adalah bapak ibu kedua mempelai dan para saudara mempelai. Pada
prosesi pengantin di karaton Jogja dan Solo, masih ada rombongan tambahan,
yaitu kelompok “edan-edanan” ( edan artinya gila), yang
terdiri dari beberapa orang cebol, berbadan tidak normal dengan riasan
aneh-aneh dan mencolok dan menari dengan gerakan lucu. Kelompok edan-edanan ini
memiliki makna sebagai penolak bala, mengusir semua gangguan berujud apapun
termasuk roh jahat.
4. Disengker
Calon mempelai di karaton, beberapa hari sebelumnya
diharuskan sudah berada dilingkungan karaton dan tidak boleh keluar,istilahnya disengker.
3.1. Kesimpulan
Dalam
pembahasan ini penulis memaparkan “UPACARA PERNIKAHAN DALAM MASYARAKAT
JAWA DILIHAT DARI SEGI AGAMA KEJAWEN.” UPACARA PERNIKAHAN adat jawa
sangatlah ngejlimet dan bayak tata cara yang memiliki mitos-mitos tersendiri. UPACARA
PERNIKAHAN MASYARAKAT JAWA, pada masyarakat abangan, santri, dan
priyayi memiliki perbedaan dalam pelaksanaan upacara pernikahan untuk
putra-putrinya. Mislanya masyarakat abangan yang sering di dominasi oleh
masyarakat pinggiran, mereka lebih memilih upacara pernikan yang sederhana tetapi
memberikan makna yang kental dalam pelaksanaannya. Sedangkan pada masyarakat
priyayi mereka mendominasi kepada pola yang lebih formal dikarnakan mereka
berada dalam strata yang lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat abangan itu
sendiri.
UPACARA PERNIKAHAN
MASYARAKAT JAWA, lebih
menjunjung tradisi yang sudah ada pada zaman nenek moyang mereka. Kebanyakan
pada masyarakat modern sekarang ini UPACARA PERNIKAHAN itu
dijadikan media untuk melestarikan kebudayaan yang sudah ada sejak dulu. Tidak
bisa dipungkiri bahwa karaton-karaton di Jawa, terutama Yogyakarta dan
Surakarta menjadi kiblat atau patokan dalam pelestarian kebudayaan ini.
Keratin-kraton itu memiliki misi, Agar kebudayaan dalam UPACARA
PERNIKAHAN ini tetap terjaga walaupun kebudayaan modern semakin
berkembang pesat.
Geertz,
Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta : The Free Press of
Glencoe, Inc., AS.
Damami,
Muhammad. 2002. Makna Agama dalam masyarakat jawa. Yogyakarta
: LESFI.
Sutiyno.2010. Puritan
& Sinkretis. Jakarta :PT Kompas Media Nusantara.
Suryo S.Negoro
[1] Upacara dengan mengundang para tetangga,
disertai berdoa bersama dipimpin oleg seorang rois/modin, dengan menyajikan
makanan terdiri dari nasi tumpeng, ikan ayam, jajan pasar, sayur, dan
buah-buhan. Lihat Sutiyono, Puritan dan Sinkretis ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2010: hlm. 357).
[2] Dalam bahasa Yunani, kata “mitos” berasal dari
“mathos”, yang secara harfiah diartikan sebagai “cerita atau sesuatu yang
dikatakan seseorang”. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos mengandung arti
“suatu pernyataan, sebuah cerita, atau alur suatu drama”. Dalam bahasa inggris,
kata “mythology” menunjuk pada pengertian baik sebagai studi atas
mitos atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos, yang berbeda
dengan legenda dan dongeng. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi I ( Jakarta: Rineka Cipta, 2011: hlm. 154).
[3] Hildred Geertz. Keluarga Jawa (
Jakarta: The Free Press of Glencoe, Inc. AS, 1985: hlm. 65).
[4] Panci terbuat dari tanah liat, Ibid., hlm.
355.
Komentar
Posting Komentar